Rabu, 02 Desember 2015

Pilihan Allah Itulah yang Terbaik

Imam adz-Dzahabi[1] dan Ibnu Katsir[2] menukil dalam biografi shahabat yang mulia dan cucu kesayangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, al-Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, bahwa pernah disampaikan kepada beliau tentang ucapan shahabat Abu Dzar, “Kemiskinan lebih aku sukai daripada kekayaan dan (kondisi) sakit lebih aku sukai daripada (kondisi) sehat”.
Maka al-Hasan bin ‘Ali berkata, “Semoga Allah merahmati Abu Dzar, adapun yang aku katakan adalah: “Barangsiapa yang bersandar kepada baiknya pilihan Allah untuknya maka dia tidak akan mengangan-angankan sesuatu (selain keadaan yang Allah Ta’ala pilihkan untuknya). Inilah batasan (sikap) selalu ridha (menerima) semua ketentuan takdir dalam semua keadaan (yang Allah Ta’ala) berlakukan (bagi hamba-Nya)”.

Atsar (riwayat) shahabat di atas menggambarkan tingginya pemahaman Islam para shahabat radhiyallahu ‘anhum dan keutamaan mereka dalam semua segi kebaikan dalam agama[3].
Dalam atsar ini shahabat Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu menjelaskan bahwa kondisi susah (miskin dan sakit) lebih baik bagi seorang hamba daripada kondisi senang (kaya dan sehat), karena biasanya seorang hamba lebih mudah bersabar menghadapi kesusahan daripada bersabar untk tidak melanggar perintah Allah Ta’ala dalam keadaan senang dan lapang,
sebagaimana yang diisyaratkan dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Demi Allah, bukanlah kemiskinan yang aku takutkan (akan merusak agama) kalian, akan tetapi yang aku takutkan bagi kalian adalah jika (perhiasan) dunia dibentangkan (dijadikan berlimpah) bagi kalian sebagaimana (perhiasan) dunia dibentangkan bagi umat (terdahulu) sebelum kalian, maka kalian pun berambisi dan berlomba-lomba mengejar dunia sebagaimana mereka berambisi dan berlomba-lomba mengejarnya, sehingga (akibatnya) dunia itu membinasakan kalian sebagaimana dunia membinasakan mereka[4].

Akan tetapi, dalam atsar ini, cucu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, al-Hasan bin ‘Ali radhiyallahu ‘anhu mengomentari ucapan Abu Dzar di atas dengan pemahaman agama yang lebih tinggi dan merupakan konsekwensi suatu kedudukan yang sangat agung dalam Islam, yaitu ridha kepada Allah Ta’ala sebagai Rabb (Pencipta, Pengatur, Pelindung dan Penguasa bagi alam semesta), yang berarti ridha kepada segala perintah dan larangan-Nya, kepada ketentuan takdir dan pilihan-Nya, serta kepada apa yang diberikan dan yang tidak diberikan-Nya[5].

Sikap ini merupakan ciri utama orang yang akan meraih kemanisan dan kesempurnaan iman, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Akan merasakan kelezatan/kemanisan iman, orang yang ridha dengan Allah I sebagai Rabb-nya dan islam sebagai agamanya serta (Nabi) Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rasulnya”[6].

Beberapa pelajaran berharga yang dapat kita petik dari kisah di atas:
  1. Bersandar dan bersarah diri kepada Allah Ta’ala adalah sebaik-baik usaha untuk mendapatkan kebaikan dan kecukupan dari-Nya[7]. Allah berfirman:
    {وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ}
    Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya” (QS ath-Thalaaq: 3).
  2. Ridha dengan segala ketentuan dan pilihan Allah Ta’ala bagi hamba-Nya adalah termasuk bersangka baik kepada-Nya dan ini merupakan sebab utama Allah Ta’ala akan selalu melimpahkan kebaikan dan keutmaan bagi hamba-Nya. Dalam sebuah hadits qudsi Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Aku (akan memperlakukan hamba-Ku) sesuai dengan persangkaannya kepadaku”[8].
    Makna hadits ini: Allah akan memperlakukan seorang hamba sesuai dengan persangkaan hamba tersebut kepada-Nya, dan Dia akan berbuat pada hamba-Nya sesuai dengan harapan baik atau buruk dari hamba tersebut, maka hendaknya hamba tersebut selalu menjadikan baik persangkaan dan harapannya kepada Allah Ta’ala[9].
  3. Takdir yang Allah Ta’ala tetapkan bagi hamba-Nya, baik berupa kemiskinan atau kekayaan, sehat atau sakit, kegagalan dalam usaha atau keberhasilan dan lain sebagainya, wajib diyakini bahwa itu semua adalah yang terbaik bagi hamba tersebut, karena Allah Ta’ala maha mengetahui bahwa di antara hamba-Nya ada yang akan semakin baik agamanya jika dia diberikan kemiskinan, sementara yang lain semakin baik dengan kekayaan, dan demikian seterusnya[10].
  4. Imam Ibnu Muflih al-Maqdisi berkata,”Dunia (harta) tidaklah dilarang (dicela) pada zatnya, tapi karena (dikhawatirkan) harta itu menghalangi (manusia) untuk mencapai (ridha) Allah Ta’ala, sebagaimana kemiskinan tidaklah dituntut (dipuji) pada zatnya, tapi karena kemiskinan itu (umumnya) tidak menghalangi dan menyibukkan (manusia) dari (beribadah kepada) Allah. Berapa banyak orang kaya yang kekayaannya tidak menyibukkannya dari (beribadah kepada) Allah Ta’ala, seperti Nabi Sulaiman ‘alaihis salam, demikian pula (sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) ‘Utsman (bin ‘Affan) dan ‘Abdur Rahman bin ‘Auf . Dan berapa banyak orang miskin yang kemiskinannya (justru) melalaikannya dari beribadah kepada Allah dan memalingkannya dari kecintaan serta kedekatan kepada-Nya…”[11].
  5. Orang yang paling mulia di sisi Allah Ta’ala adalah orang yang mampu memanfaatkan keadaan yang Allah Ta’ala pilihkan baginya untuk meraih takwa dan kedekatan di sisi-Nya, maka jika diberi kekayaan dia bersyukur dan jika diberi kemiskinan dia bersabar. Allah Ta’ala berfirman,
    {إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ }
    Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu” (QS al-Hujuraat: 13).
    Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Alangkah mengagumkan keadaan seorang mukmin, karena semua keadaannya (membawa) kebaikan (untuk dirinya), dan ini hanya ada pada seorang mukmin; jika dia mendapatkan kesenangan dia akan bersyukur, maka itu adalah kebaikan baginya, dan jika dia ditimpa kesusahan dia akan bersabar, maka itu adalah kebaikan baginya”[12].
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 7 Jumadal ula 1432 H
Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA
Artikel www.muslim.or.id

[1] Dalam kitab “Siyaru a’laamin nubalaa’” (3/262).
[2] Dalam kitab “al-Bidaayah wan nihaayah” (8/39).
[3] Lihat keterangan imam Ibnul Qayyim dalam kitab “al-Fawa-id” (hal. 141).
[4] HSR al-Bukhari (no. 2988) dan Muslim (no. 2961).
[5] Lihat kitab “Fiqul asma-il husna” (hal. 81).
[6] HSR Muslim (no. 34).
[7] Lihat keterangan imam Ibnul Qayyim dalam kitab “badaa-i’ul fawa-id” (2/766).
[8] HSR al-Bukhari (no. 7066- cet. Daru Ibni Katsir) dan Muslim (no. 2675).
[9] Lihat kitab “Faidhul Qadiir” (2/312) dan “Tuhfatul ahwadzi” (7/53).
[10] Lihat keterangan syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab “’Uddatush shaabiriin” (hal. 149-150).
[11] Kitab “al-Aadaabusy syar’iyyah” (3/469).
[12] HSR Muslim (no. 2999).

Rabu, 25 November 2015

KETIKA CINTA DATANG MENYAPA....

Cinta Dalam Pandangan Ibnu Hazm

-Tentang Cinta
“Jika ada sesuatu yang tak pernah usai untuk dibahas. tak pernah habis untuk diekspresikan, maka itulah cinta!”

"Cinta tak dicela agama dan tak dilarang dalam syariat, cinta adalah urusan hati sementara hati dalam genggaman Ilahi"

"Orang yang menyembunyikan cintanya boleh jadi disebabkan rasa khawatir atau malu apabila ada orang lain tahu bahwa ia sedang dilanda cinta. Ia mengira, jatuh cinta adalah kelemahan yang tak seharusnya mendera orang beriman. Ia menyangka jatuh cinta adalah aib bagi seorang agamawan. Ia khawatir jika ada orang yang tahu bahwa ia sedang jatuh cinta, mereka akan memandangnya sebagai orang yang tidak saleh dan tidak taat beragama.
 Padahal sejatinya, sebagai seorang muslim yang beriman, ia hanya dititahkan untuk menjaga dirinya dari hal-hal yang diharamkan Allah dikala godaan datang menghampirinya.
 Mencintai keindahan dan membiarkan cinta bersemi bukanlah hal yang hina, apalagi dosa.
Sesungguhnya jiwa dan hati kita berada dalam genggaman Allah Yang Maha Menggenggam.
Dia tak pernah menitahkan pada hati kecuali untuk menimbang antara yang benar dan yang salah, lalu meyakini dan menempuh jalan yang benar dengan segenap jiwa.
Sementara cinta bukan dosa, ia adalah fitrah manusia.
Yang harus kita lakukan adalah mengendalikan anggota tubuh kita agar tidak terjerumus ke dalam hal-hal yang di haramkan-Nya.

(Ibn Hazm Al Andalusi dalam Thauq Al-Hamamah)


Kamis, 19 November 2015

Suriah dalam Sejarah

Negeri Syam yang dikenal dahulu sekarang terbagi menjadi empat negara. Yordania, Libanon, Palestina dan Suriah yang beribukota Damaskus. Sejarah bumi Syam adalah sejarah yang penuh dengan masa keemasan dan kemuliaan. Negeri tersebut merupakan negeri para Nabi dan Rasul, negeri sahabat, para ulama dan penuntut ilmu dan menjadi tempat hijrah manusia-manusia pilihan di akhir zaman. Sejak Islam masih dini, Damaskus terkenal sebagai kota pelajar. Karena banyaknya sekolah yang ada di sana. 
Pada masa Salahuddin Al-Ayubi jumlah sekolah mencapai 20 buah, di antaranya; Sekolah Adiliah, Sekolah Dhahiriah, Sekolah Jamqumiah, Sekolah Rawahiah, Sekolah Shalahiah, Sekolah Asadiah, Sekolah `Ashruniah, Sekolah `Aziziah dan lain-lain. Juga terkenal dengan sejumlah perpustakaan. Yang paling terkenal adalah Perpustakaan Sekolah Adiliah. Pada zaman dahulu, Damaskus juga terkenal dengan banyaknya rumah sakit milik lembaga pendidikan kedokteran tertentu dan banyaknya sekolah-sekolah kedokteran.
Sepanjang sejarah kekhalifahan Islam yang silih berganti, Damaskus telah banyak menelorkan ulama besar, seperti; Hafiz Abdul Aziz At-Timiy, Hafiz Abu Zar`ah tokoh hadis terkemuka Syekhul Islam Ibn Taymiah, Ibn `Asakir, Abu Syamah, Ibn Katsir, Ibn Malik, Ibn Syathir, Rashid, Ibnu Baythar dan Ibnu Nafis. Mesjidnya yang paling terkenal adalah mesjid Umawi dan peninggalan sejarahnya yang paling tersohor adalah benteng Damaskus.
Kota para nabi ini terkenl dengan keamanan dan keramahan penduduknya. Ulamanya terkenal dengan keilmuwan dan ketakwaan. Masjid Umawi yang dibangun pada periode Muawiyah menjadi pusat pendidikan islam di zamannya. Dari negeri ini, lahirlah Imam Nawawi, Ibnu Qudamah, Ibnu abidin, Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Ibnu Katsir dan Imam al-Mizzi. Para penerus mereka seperti Dr. Mustafa az-Zarqa, Syaikh Syuaib Arnauth, Syaikh Abdul Karim Rifai dan Syaikh Usamah Rifai, Prof. Wahbah az-Zuhaili, Dr. Mustafa Dib al-Bugha, adalah para pewaris mereka.

Suriah Kini

Kini, penduduk Suriah juga merasakan beratnya hidup di bawah 2 rezim diktator yang kekejamannya menyamai Namrudz dan Fir’aun. Selama lebih dari 40 Tahun, kaum muslimin ahlussunnah hidup di bawah rezim Asadain (dua Asad), Hafidz Asad dan Basar Asad. Selama masa itu, berbagai penderitaan melanda mereka. Hingga kini tidak kurang dari 4 juta warga Suriah mengungsi ke negeri Tetangga. Libanon, Yordania, Turki hingga ke Eropa, seperti Islandia dan Yunani. Puncaknya, masyarakat dunia ditarik perhatiannya pada Alain Kurdi. Sosok balita yang ditemukan di pinggiran Pantai Turki dalam keadaan tidak bernyawa.
Di masa Hafidz Asad, umat islam ahlussunnah merasakan kekejaman militernya, saat membantai lebih dari 30.000 orang dalam satu hari. Dan kini, dalam waktu kurang dari tiga Tahun, sudah lebih dari 165.000 kaum musli yang menjadi korban kekejaman Basyar Asad. Lebih dari 100.000 orang yang dipenjarkan dengan penyiksaan.
Selama 40 Tahun itu, para Tangan Besi ini memerintah dengan berbagai aturan yang membungkam Syariat Islam dan menjauhkan kaum muslim dari Kitabullah. Para pegawai negeri, dan anak-anak muda dilarang berjamaah di masjid. Setiap khutbah, Khatib harus melaporkan materi khutbahnya sebelum naik ke mimbar. Dan jika terdapat materi yang menyinggung kekuasaan, maka mereka akan merasakan jeruji besi. Akhirnya, mereka sama sekali jauh dari al-Qur’an. Tidak mengetahui kaidah membaca dan tilawahnya. Padahal mereka adalah orang Arab.
Secara logika sebuah bangsa yang mengalami penjajahan fisik dan mental selama 40 Tahun, dengan tingkat kesukaran yang luar biasa, maka tidak mudah bagi mereka untuk bangkit seketika dan mengganti rezim yang ada. Namun yang terjadi sekarang sungguh sangat diluar perkiraan. Sebab, saat angin revolusi Arab Spring berhembus, negeri ini justru berubah menjadi tanah Jihad, dan Syaikh Usamah ar-Rifai menyebut bahwa revolusi Suriah sebagai Tsaurah al-Mubaarakah (Revolusi berberkah). Pasalnya, pemuda-pemuda Suriah berubah menjadi angkatan mujahid yang menginginkan tegaknya syariat Islam di Suriah.
Saat ini konflik telah terjadi antara Pasuka Rezim Basyar dengan aliansi Mujahidin seperti Jabhah Nusrah, Liwa’ Al-Ummah, Liwa’ Al-Haq di Idlib, Jundul Aqsha, Liwa’ Umar radhiyallahu ‘anhu, aisy al-Islam, Jabhah as-Syamiyyah, Fastaqim Kama Amarat, Ahrar as-Syam, Fajr al-Khilafah, Tsuwar as-Syam dan Faylaq as-Syam, yang telah bergabung dalam Aliansi Jays al-Fath. Meskin kini kehadiran ISIS di Suriah menjadi fitnah. Sebab beberapa sumber menyebutkan bahwa ISIS kini menjadi lawan dari para Mujahidin Suriah. Mereka dianggap sebagai bentukan rezim Basyar untuk memecah belah Mujahidin di sana.
Perjuangan Mujahidin Suriah membuahkan hasil yang sangat signifikan. Sekitar 75 % wilayah Suriah kini dikuasai Mujahidin Selebihnya dikuasai ISIS dan rezim Basyar. Diantara keberhasilan para Mujahidin tersebut adalah, Bulan Maret 2015 lalu Mujahidin Jaisyul Fath saat mereka berhasil memaksa pasukan militer rezim Assad kabur meninggalkan salah satu wilayah kunci pertahanan militer mereka, yaitu ibukota Idlib. Beberapa wilayah yang baru dibebaskan dan dibersihkan tersebut berada di dekat kota Jisr al-Syughur dan kota Ariha yang telah terlebih dahulu dibebaskan sebelumnya. Kota-kota dan pedesaan yang telah berhasil direbut oleh Jaisyul Fatih tersebut di antaranya: ‘Ayn al Hamra, Basnaqul, Muhambel, dan Sanqara, termasuk sejumlah checkpoint (pos-pos pemeriksaan) milik pasukan rezim Assad, sebagaimana dirilis kiblat.net sekitar empat bulan yang lalu.
Basyar yang semakin terdesak membuat ia kelabakan menghadapi kekuatan tentara Mujahidin. Beberapa waktu yang lalu kita sempat mendengar penggunaan bom dan senjata kimia oleh pesawat-pesawat tempur rezimnya. Dan akhirnya, negara-negara Barat dan Rusia harus turung tangan untuk tetap mempertahankan posisi politik dan ekonomi mereka di Timur Tengah. Baru-baru ini, Iran telah mendaratkan pasukannya untuk membantu Basyar, Perancis yang sudah melakukan serangan udara, dan sebelumnya Rusia, telah lama mensupport dengan pasukan, senjata dan amunisi.
Kini, Suriah yang dulunya adalah negeri para Nabi dan Ulama. Bahkan Damaskus pernah menjadi Ibukota Kekhalifan Islam saat dinasti Umawiyah. Kini menjadi daratan perang. Bumi yang menghampar ribuan bom, serta peluru setiap harinya mendengung di udara dan pemukiman.

Nubuwah 

Berdasarkan analisis dan perhatiannya dari seumber-sumber berita Timur tengah, Abu Fatiah menyimpulkan bagaimana relasi antara fakta-fakta di Suriah dengan nubuwah akhir zaman dari hadits-hadit Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. Ia menuturkan “Nampaknya ada rencana Allah yang amat dahsyat yang sedang disiapkan-Nya. Sebagai sebuah negeri yang dipersiapkan untuk menyambut kedatangan Imam Mahdi dan turunnya Nabi Isa, juga menjadi tempat berlangsungnya perang dahsyat al-Malhamah al-Kubra di akhir zaman. Berdasarkan analisisnya terhadap hadits-hadits tentang Imam Mahdi, turunnya Nabi Isa dan tegaknya Khilafah Rasyidha di bumi Syam, dan membandingkan dengan kondisi masyarakat Suriah kini, maka semakin terlihat benang merah, kebenaran nubuwah Nabi Shallallahu alaihi wasallam.”

huru_hara_syam

Konflik Suriah adalah sebuah refleksi ilahiah yang akan melahirkan generasi Tha’ifah al-Manshurah di akhir zaman, sekaligus menyeleksi kebenaran iman para penduduknya. Dalam hadits disebutkan, Akan senantiasa ada sekelompok dari ummatku yg menegakkan perintah Allah, tak ada yg membahayakannya orang yg menghinakan atau menyelisihi mereka sampai datangnya hari Kiamat, & mereka akan selalu menang atas manusia. [HR. Muslim No.3548]. Begitu pula dalam hadits yang lain bahwa, Agama ini akan senantiasa menang selagi masih ada sekelompok kaum Muslimin yg berperang (di jalan Allah) hingga datang hari Kiamat. [HR. Muslim No.3546]. 

Para ulama menjelaskan diantara ciri-ciri Thaifah Al-Manshurah dapat digambarkan secara umum bahwa mereka menegakkan Kebenaran, melaksanakan Jihad Fi Sabilillah, mempunyai komitmen tinggi, istiqomah dalam kebenaran, bersabar dan senantiasa tawakal kepada Allah Swt, senantiasa mendapatkan pertolongan (Manshurah) dari Allah Swt, meraih kemenangan atas musuh-musuhnya. 

Suriah hari ini menjadi Barometer keimanan dan kejujuran seseorang. Konflik Suriah akan membelah manusia menjadi 2 kemah raksasa, kemah keimanan dan kemah kemunafikan. Sebab, bagaimana pun kondisi umat islam, sudah menjadi jaminan bahwa akan selalu ada golongan yang memperjuangkan kebenaran. Dan –boleh jadi- konflik inilah yang akan memicu al-Malhamah al-Kubra sebagai pintu gerbang akhir zaman (Wallohu a’lam).


Maraji : Abu Fatiah al-Adnani, 2014, Huru-Hara Irak, Syria & Mesir, Surakarta: Granada Mediatama
Oleh Syamsuar Hamka
(Mahasiswa Program Kaderisasi 1000 Ulama DDII-Baznas pada FPs Prodi Pend. Islam UIKA Bogor)

Selasa, 17 November 2015

Hijrah Hati dengan Menuju Allah

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang muslim adalah yang membuat orang-orang muslim yang lain selamat dari lisan dan tangannya. Adapun orang yang berhijrah adalah orang yang hijrah meninggalkan larangan-larangan Allah” (HR. Bukhari)

Kaum muslimin yang dimuliakan Allah, di dalam hadits yang agung ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa hakikat keislaman itu diwujudkan dengan kepasrahan/istislam kepada Allah, menunaikan kewajiban kepada-Nya, serta menunaikan hak-hak sesama muslim. Selain itu, hadits ini menunjukkan bahwa terdapat hijrah yang hukumnya fardhu ‘ain bagi setiap muslim, yaitu hijrah meninggalkan dosa-dosa dan kemaksiatan. Kewajiban hijrah semacam ini tidak pernah gugur darinya dalam keadaan bagaimana pun (lihat Bahjah al Qulub al Abrar, oleh Syaikh As Sa’di)

Hijrah yang dimaksud di dalam hadits ini mencakup dua bagian.
 Pertama; hijrah secara batin, yaitu dengan meninggalkan bujukan-bujukan hawa nafsu yang menyeret kepada keburukan dan meninggalkan rayuan setan. Inilah yang disebut dengan istilah hijrah dengan hati. Adapun yang kedua ; hijrah secara lahiriyah yaitu dengan menyelamatkan agamanya dari terpaan fitnah-fitnah/kerusakan, kekacauan, dan kerancuan (lihat Fath al Bari, oleh Al Hafizh Ibnu Hajar)
Dengan demikian, hijrah kepada Allah maknanya adalah meninggalkan apa-apa yang dibenci Allah menuju apa-apa yang dicintai-Nya, yaitu meninggalkan kemaksiatan menuju ketaatan.

Al Firar ila Allah (Berlari Menuju Allah)

Meninggalkan apa-apa yang dibenci Allah kepada apa-apa yang dicintai-Nya itulah yang dikenal dengan istilah al firar ila Allah (berlari menuju Allah). Hal itu Allah sebutkan dalam firman-Nya (yang artinya), “Maka berlarilah kalian menuju Allah” (QS. Adz Dzariyat : 50)

Hijrah kepada Allah ini mengandung sikap meninggalkan segala hal yang dibenci oleh Allah kemudian diikuti dengan melakukan apa saja yang dicintai dan diridhai-Nya. Pokok hijrah ini adalah rasa cinta dan benci di dalam hati. Dalam artian seorang yang berhijrah meninggalkan sesuatu (baca ; maksiat) kepada sesuatu yang lain (baca ; ketaatan) tentu saja karena apa yang dia tuju lebih dicintai daripada apa yang dia tinggalkan. Oleh sebab itulah dia lebih mengutamakan perkara yang lebih dicintainya daripada perkara-perkara lainnya (lihat Adh Dhau’ Al Munir ‘ala At Tafsir, oleh Imam Ibnul Qayyim)

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, dari sini kita bisa memetik pelajaran bahwa hijrah dengan hati kepada Allah menuntut kita untuk memiliki kesadaran dan ilmu mengenai apa yang Allah benci dan apa yang Allah cintai. Karena hakikat hijrah ini adalah meninggalkan perkara yang dibenci-Nya menuju perkara yang dicintai-Nya. Perkara yang dibenci Allah itu meliputi syirik, kekafiran, kemunafikan, bid’ah, dan kemaksiatan. Adapun perkara yang dicintai Allah itu mencakup tauhid, keimanan, ikhlas, mengikuti tuntunan, dan melakukan ketaatan-ketaatan.

Menyelamatkan Diri Dari Adzab

Melakukan hal-hal yang Allah cintai dan menjauhi hal-hal yang Allah benci merupakan sarana untuk menyelamatkan diri dari adzab dan murka Allah. Hal ini merupakan buah dan faidah hijrah kepada Allah. Dengan melakukan ketaatan dan meninggalkan maksiat. Dengan iman dan ketakwaan, meninggalkan kekafiran dan kefajiran. Dengan ikhlas dan kesetiaan terhadap tuntunan dan ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Meninggalkan kemunafikan, riya’ serta ajaran-ajaran baru yang tidak dituntunkan.
Oleh sebab itu, sebagian ulama menafsirkan firman-Nya (yang artinya), “Maka berlarilah kalian kepada Allah” (QS. Adz Dzariyat : 50) dengan tafsiran yang artinya, “Selamatkanlah diri kalian dari adzab Allah menuju limpahan pahala, yaitu dengan iman dan ketaatan” (lihat Adh Dhau’ Al Munir ‘ala At Tafsir, oleh Imam Ibnul Qayyim)

Sebab utama yang akan membebaskan dari adzab Allah adalah tauhid dan keimanan seorang hamba. Dengan tauhid dan iman itulah dirinya akan selamat dari kekalnya siksa neraka. Berbeda halnya dengan orang kafir atau musyrik. Betapa pun banyak jasa dan kebaikan mereka kepada manusia, jika mereka kafir dan mempersekutukan Allah maka di akhirat mereka kekal dihukum di dalam neraka; sebagai balasan setimpal atas dosa, kezaliman, dan kejahatannya selama di dunia. Amalnya akan sirna dan sia-sia, terhapus dan hancur akibat syirik dan kekafiran mereka kepada Allah ta’ala.

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah maka sungguh Allah haramkan atasnya surga dan tempat kembalinya adalah neraka, dan tidak ada bagi orang-orang zalim itu penolong” (QS. Al Ma’idah : 72)

Allah Ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelummu, jika kamu berbuat syirik niscaya lenyap seluruh amalmu dan benar-benar kamu termasuk golongan orang-orang yang merugi” (QS. Az Zumar : 65)

Allah Ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang kafir setelah beriman, maka lenyaplah amalannya dan di akhirat dia akan menjadi orang yang merugi” (QS. Al Maa-idah : 5)

Syirik Kezaliman Terbesar

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus para utusan Kami dengan keterangan-keterangan yang jelas dan Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca agar umat manusia menegakkan keadilan” (QS. Al Hadid: 25)

Ibnul Qayyim berkata, “Allah Subhanahu mengabarkan bahwasanya Dia telah mengutus rasul-rasul-Nya dan menurunkan kitab-kitab-Nya supaya umat manusia menegakkan timbangan (al qisth) yaitu keadilan. Diantara bentuk keadilan yang paling agung adalah tauhid. Ia adalah pokok keadilan dan pilar penegaknya. Adapun syirik adalah kezaliman yang sangat besar. Sehingga, syirik merupakan tindak kezaliman yang paling zalim, dan tauhid merupakan bentuk keadilan yang paling adil.” (lihat Ad Daa’ wa Ad Dawaa’)
Beliau juga berkata, “Sesungguhnya orang musyrik adalah orang yang paling bodoh tentang Allah. Tatkala dia menjadikan makhluk sebagai sesembahan tandingan bagi-Nya. Itu merupakan puncak kebodohan terhadap-Nya, sebagaimana hal itu merupakan puncak kezaliman dirinya. Sebenarnya orang musyrik tidaklah menzalimi Rabbnya. Karena sesungguhnya yang dia zalimi adalah dirinya sendiri.” (lihat Ad Daa’ wa Ad Dawaa’)

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia akan mengampuni dosa lain yang berada di bawah tingkatan syirik itu bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya” (QS. An Nisaa’ : 48).

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Wahai anak Adam! Seandainya kamu datang kepada-Ku dengan membawa dosa hampir sepenuh isi bumi lalu kamu menemui-Ku dalam keadaan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu apapun, niscaya Aku pun akan mendatangimu dengan ampunan sebesar itu pula” (HR. Tirmidzi dan beliau nilai derajatnya hasan)

Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun, niscaya dia masuk ke dalam neraka” Dan aku -Ibnu Mas’ud- berkata, “Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia pasti akan masuk surga” (HR. Bukhari dan Muslim)

Tunduk Kepada Syari’at Allah

Termasuk di dalam cakupan hijrah kepada Allah adalah dengan mengikuti aturan dan hukum-hukum yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya bagi umat manusia. Baik aturan itu menyangkut masalah ibadah/ritual, akhlak/perilaku, mu’amalah, ekonomi, politik, dan lain sebagainya. Sebab Islam adalah ajaran yang lengkap dan sempurna, meliputi berbagai sisi kehidupan. Dengan tunduk kepada hukum-hukum Allah akan mendatangkan hidayah, ketentraman dan keselamatan, di dunia dan di akhirat.

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku maka dia tidak akan sesat dan tidak akan celaka” (QS. Thaha : 123). Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah pantas bagi orang yang beriman lelaki atau perempuan, untuk memiliki pilihan lain dari urusan mereka pada saat Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu perkara. Barangsiapa yang durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya sungguh dia telah sesat dengan kesesatan yang amat nyata” (QS. Al Ahzab : 36)

Diantara bentuk ketundukan kepada syari’at Allah adalah dengan memberikan ketaatan kepada ulama dan umara/pemerintah dalam hal-hal yang ma’ruf/kebaikan. Demikian pula wajib mengembalikan segala perselisihan kepada Al Qur’an dan As Sunnah. Inilah yang disebut dengan ketundukan kepada hukum Allah.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan juga ulil amri/para pemimpin diantara kalian. Kemudian, apabila kalian berselisih dalam suatu masalah, kembalikanlah kepada Allah dan Rasul, jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Hal itu lebih baik dan lebih bagus hasilnya” (QS. An Nisaa’ : 59)

Penutup

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, dari penjelasan-penjelasan tadi teranglah bagi kita bahwa sesungguhnya kebahagiaan dan keselamatan yang hakiki hanya bisa diraih dengan kembali kepada Allah dan Rasul-Nya, yaitu meninggalkan segala hal yang dibenci dan tidak diridhai-Nya menuju apa-apa yang dicintai dan diridhai-Nya. Untuk tujuan itulah Allah Ta’ala menciptakan segenap jin dan manusia. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka beribadah kepada-Ku” (QS. Adz Dzariyat : 56). Wallahu a’lam bish shawaab.


Penulis : Ustadz Ari Wahyudi, S.Si (Alumni Ma’had Al ‘Ilmi Yogyakarta)
Muroja’ah : Ustadz Abu Salman

Sabtu, 14 November 2015

PAHALA MENGHUTANGI MELEBIHI PAHALA BERSEDEKAH.... ???

Dari Anas bin Malik radhiallahu anhu berkata,
Rasulullah shalallahu alaihi wasalam. bersabda,
“Aku melihat pada malam aku diisro'kan, di atas pintu surga tertulis
‘Satu sedekah dilipatkan 10 kalinya, dan meminjami hutang dilipatkan 18 kalinya’.”
HR. Ahmad IV/296), At-Tirmidzi ibnu hiban (5074)
dan dishahihkan Albani dalam Al—Misykah (1917).

Subhanallah.. Betapa besar keutamaan orang meminjami uang..
Karena meminjami uang itu resikonya didunia dg tak dibayar.. (Dibawa kabur)
Namun diakhirat..anda dapat menagihnya jika belum dibayar.
Entah dg meminta pahala dia untuk anda atau menimpakan dosa anda untuknya.
Tp yg jelas uang anda tsb pasti akan membuahkan hasil keutungan bagi anda diakhirat
jika si penghutang tidak membayarnya.. Tanpa syarat ikhlas atau tidak..
Karena itu adalah hak..
Hak yg akan anda panen..
Tidak ada syarat ikhlas disini..
Beruntunglah mereka yg uangnya
sampai di alam akhirat masih dihutang orang..
Dan sangat merana orang yg kembali kepada Allah tapi
masih membawa hutang.....

 Semoga bermanfaat
Oleh : Ustadz Abu Riyadl Nur Cholis Majid, Lc

Jumat, 13 November 2015

💚Meninggalkan Sesuatu Karena Allah💚

Tidak diragukan lagi, bahwa syahwat memiliki peran layaknya penguasa bagi jiwa dan pengendali bagi hati. Karenanya, membebaskan jiwa dari kungkungan syahwat amatlah berat. Akan tetapi, barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan mencukupkannya. Barangsiapa yang meminta pertolongan kepada-Nya maka niscaya Allah akan menolongnya.

Ikhlas Kuncinya

Seorang hamba akan menemui kesulitan untuk meninggalkan apa-apa yang diinginkan hawa nafsunya manakala hal tersebut dilakukan dengan niat karena selain Allah Azza Wa Jalla.
Adapun ketika seorang hamba meninggalkannya dengan niat yang ikhlas karena Allah semata, maka niscaya dia tidak akan menemukan kesulitan yang berarti kecuali pada kali pertama saja, sebagai cobaan terhadap apa yang diusahakannya. Seorang yang bersabar untuk menahan nafsunya sesaat niscaya dia akan mendapatkan kelezatan yang hakiki.

Mendapatkan Ganti Yang Lebih Baik

Manakala keinginan jiwa terhadap perkara-perkara yang diharamkan begitu besar, hasrat untuk memenuhi panggilan nafsu tersebut begitu kuat, ditambah dengan banyaknya sarana untuk melakukannya, maka semakin besar pula ganjaran yang Allah sediakan bagi mereka yang mampu untuk meninggalkannya. Allah lipat gandakan pahala bagi mereka yang ber-mujahadah untuk melepaskan jiwa dari kungkungan syahwatnya.
Ketahuilah sesungguhnya barangsiapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah maka niscaya Dia akan menggantikannya dengan yang lebih baik. Ganti yang akan Allah berikan bermacam-macam. Ganti yang paling utama adalah kebahagiaan bersama Allah, kecintaan, dan ketenangan hati tatkala mengingat Nya. Selain itu, Allah pun akan mengganti dengan bertambahnya kekuatan, semangat, dan harapan yang tinggi akan keridhaan kepada-Nya saja. Iapun akan mendapatkan ganjaran dan kebaikan dalam kehidupan dunia, serta apa yang telah Allah siapkan untuknya di akhirat kelak.

Beberapa Contoh

Berikut ini beberapa contoh, barangsiapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah maka Allah berikan ganti yang jauh lebih baik :
Barangsiapa yang meninggalkan perbuatan meminta kepada dukun dan tukang sihir, maka Allah akan menganugrahkan kesabaran dan kejujuran dalam tawakkal serta terealisasinya tauhid yang murni dalam dirinya hanya kepada Allah semata.

Barangsiapa yang meninggalkan dunia dan kesibukannya yang melalaikan, Allah akan menyatukan semua urusannya, Allah jadikan kekayaan ada di dalam hatinya dan dunia datang kepadanya dalam keadaan dunia itu hina dihadapannya.

Barangsiapa yang meninggalkan teman yang buruk, yang ia sangka temannya itu dapat memberikan kegembiraan atau kesenangan berhadap dirinya, maka Allah gantikan baginya teman-teman yang baik, teman yang akan setia bersamanya dalam keadaan sulit dan senang.

 Barangsiapa yang meninggalkan sifat curang dalam jual beli, Allah akan tambahkan kepercayan manusia kepada dirinya. Manusia pun ridha terhadap barang perniagaannya.

Barangsiapa yang meninggalkan riba dan pekerjaan yang buruk, niscaya Allah akan memberikan keberkahan dalam rizkinya dan Allah akan membukakan baginya pintu-pintu kebaikan dan keberkahan.

Barangsiapa yang meninggalkan dari melihat hal-hal yang diharamkan Allah, maka Allah akan gantikan untuknya firasat yang kuat, cahaya yang bersinar di dalam hatinya dan ketentraman jiwa.

Barangsiapa yang meninggalkan sifat takabur (sombong) dan senantiasa menghiasi dirinya dengan sifat tawadhu’, maka Allah sempurnakan kedudukannya dan tinggikan derajatnya. Rasulullah Shalallahu‘alaihi Wassalam bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim: “Barangsiapa yang bersikap tawadhu’ karena Allah, maka Dia akan mengangkatnya di hadapan manusia”.

Barangsiapa yang meninggalkan lezatnya tidur di malam hari, dia bangkit untuk menunaikan sholat malam karena Allah Azza Wa Jalla, maka Allah akan gantikan untuknya kegembiraan, semangat dan kebahagiaan di pagi harinya.

Barangsiapa bertekad yang meninggalkan rokok, minuman yang memabukkan dan obat-obatan terlarang, maka Allah akan menolongnya untuk meninggalkan semua itu. Allah gantikan untuknya dengan kesehatan dan kebahagiaan yang hakiki, bukan kebahagiaan atau kesenangan yang semu dari perkara yang terlarang tersebut.

Barangsiapa yang meninggalkan membalas dendam dalam keadaan dia mampu untuk melakukannya, maka Allah akan gantikan untuknya kelapangan dada dan kedamaian dalam hati. Karena sesungguhnya dalam pemberian maaf ada kedamaian , ketenangan, kesenangan yang hakiki dan kemulian diri, yang kesemuanya tidak akan didapatkan dari membalas dendam.

Barangsiapa yang meninggalkan al-Isyq atau perasaan cinta yang terlarang, memutuskan semua sebab-sebab yang dapat membawanya kepada cinta tersebut, dan memboikot dirinya agar tidak terjerumus kedalamnya seraya mengharap wajah Allah dengan sepenuh jiwanya, niscaya Allah akan memberikannya rizki berupa kedamaian jiwa dan kemuliaanya, Allah selamatkan dirinya dari segala bentuk kesusahan, memenuhi hati nya dengan rasa mahabbah hanya kepada Allah semata.

Sesungguhnya barangsiapa yang meninggalkan sesuatu Karena Allah maka niscaya Dia akan menggantikannya dengan yang lebih baik dari apa yang telah ditinggalkannya. Sesungguhnya balasan itu sesuai dengan jenis perbuatannya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman (yang artinya) : ‘Barangsiapa yang beramal kebaikan walau seberat biji dzarroh pun niscaya dia akan melihat balasannya, dan barangsiapa yang mengerjakan keburukan seberat dzarrah pun , niscaya dia akan melihat balasannya pula” (QS. Al-Zalzalah: 7-8)

Sumber: Ceramah Syaikh Abdullah Asy Syamiri di radio Idza’atul Qur’an Saudi Arabia, diterjemahkan oleh Muhammad Ihsan
Artikel Buletin Al Hikmah edisi 1-2, dipublikasi ulang oleh Muslimah.Or.Id

Akhir Hidup Para Pendengki

Hasad (Dengki, iri hati, hasut) adalah penyakit lama yang telah mencelakakan banyak orang dan menyakiti mereka. Pendengki akan selalu murka dan menindas orang yang tidak berdosa. Karena itu ada pepatah Arab mengatakan, “Allah telah membunuh Hasad, betapa adilnya Dia. Ia (dengki) memulai dengan tuannya sendiri (pendengki) lalu membunuhnya.”

‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata, “Cukuplah bagimu bahwa pendengki itu menggunakan kesempatan waktu sukamu.”

Allah Ta’ala berfirman dalam sebagian hadits Qudsi, “Pendengki adalah musuh nikmat-Ku, orang yang selalu jengkel terhadap perbuatan-Ku dan tidak rela terhadap pemberian (anugerah)-Ku.”

Orang-orang Arab sering berkata, “Seorang tuan tidak pernah luput dari seorang pengasih yang selalu memuji dan seorang pendengki yang selalu mencerca.”

Seorang Ahli fiqih bernama, Abu al-Laits as-Samarqandy rahimahullahu., berkata, “Ada lima sanksi yang akan sampai terlebih dahulu kepada si pendengki sebelum hasad (dengki)nya sampai kepada sasaran/targetnya (orang yang didengki); pertama, kegundahan yang tidak kunjung putus. Kedua, musibah yang tidak ada nilai pahalanya. Ketiga, celaan yang tidak ada pujiannya. Keempat, kemurkaan Rabb dan kelima, tertutup baginya pintu mendapatkan taufiq Allah.

Wahai saudara Muslim, bertakwalah kepada Allah pada dirimu dan janganlah suka menyakiti orang terhadap apa yang mereka tidak lakukan dengan cara manipulasi atau pun dusta. Ingatlah hari esok saat engkau berada di hadapan Allah Ta’ala.

Ingatlah bahwa dunia ini tidak berhak untuk menjadi tempat mendengki atau saling bermusuhan. Sedangkan engkau wahai orang yang menjadi sasaran/target (yang didengki), bersabarlah atas penyakit si pendengki sebab kesabaranmu akan membunuhnya. Ibarat api; bila tidak mendapatkan sasaran lain, maka akan melahap sebagian dirinya sendiri.

Ambillah pelajaran dari kisah berikut ini dan simaklah dengan baik:

Menurut suatu riwayat, ada seorang laki-laki, seorang Arab Badui (pedalaman) datang menemui Amirul Mukminin, al-Mu’tashim Billah. Lalu kemudian orang ini mendapat tempat di hati Amirul Mukminin sehingga dijadikan sebagai orang kepercayaannya yang bisa keluar-masuk istana kapan saja tanpa perlu meminta izin.Di istana, rupanya ada seorang menteri yang suka dengki terhadap orang lain. Sasarannya kali ini adalah si orang Badui tersebut. Ia berkata dalam hatinya, “Jika aku tidak merancang bagaimana cara membunuh si Badui ini, pastilah ia akan semakin mendapat tempat di hati Amirul Mukmin dan menyingkirkanku.”

Lalu dimulailah siasat liciknya dengan mendekati si orang Badui, bermanis-manis dengannya hingga mengajaknya bertandang ke kediamannya. Sesampainya di sana, ia menyediakan untuk tamunya, si orang Badui ini makanan yang dicampurnya dengan banyak sekali bawang putih. Si orang Badui ini tidak menyadari siasat licik sang Menteri sehingga ia memakan saja hidangan tersebut. Tatkala selesai makan, berkatalah sang Menteri kepadanya, “Hati-hati, jangan terlalu dekat jarakmu dengan Amirul Mukminin kalau berbicara sebab nanti ia akan mencium bau bawang putih dari mulutmu sehingga ia merasa terganggu. Ia orang yang sangat anti terhadap bau bawang.”

Dalam waktu yang sama, sang menteri yang pendengki ini kemudian pergi menghadap Amirul Mukminin guna melancarkan hasutannya. Begitu hanya tinggal berdua saja dengan Amirul Mukminin, ia berkata, “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya si orang Badui itu berkata tentangmu kepada orang-orang bahwa engkau memiliki bau mulut tak sedap dan ia hampir mati karena bau tersebut.”

Tak berapa lama, si Badui datang menemuinya namun tidak seperti biasanya. Ia menutupi mulutnya dengan lengan bajunya karena takut Amirul Mukminin mencium bau bawang putih dari mulutnya. Akan halnya, Amirul Mukminin –akibat hasutan sang menteri pendengki- melihat gejala yang tidak beres dan membenarkan apa yang dikatakan sang menteri kepadanya mengenai si Badui tersebut.Lalu Amirul Mukminin menulis surat kepada sebagian pegawainya yang berisi pesan, “Bila suratku ini sampai ke tanganmu, maka penggallah leher pembawanya.!” Kemudian ia memanggil si orang Badui dan menyerahkan surat yang ditulisnya seraya berkata, “Pergilah menemui si fulan dan bawa kepadaku jawabannya.”Tanpa rasa curiga sedikitpun, si Badui melaksanakan titah tersebut. Ia lalu mengambil surat itu dan membawanya keluar dari sisi Amirul Mukminin. Baru saja ia muncul di pintu, tiba-tiba sang Menteri pendengki menemuinya seraya bertanya, “Hendak pergi ke mana engkau.?” “Aku akan membawa surat Amirul Mukminin ini kepada seorang pegawainya, si fulan,” jawab si Badui

Sang menteri diam sejenak seraya berkata di dalam hatinya, “Pastilah dari membawa amanat ini, si Badui akan mendapatkan upah yang besar.” Maka tak berapa lama, ia berkata lagi kepada si Badui, “Wahai Badui, bagaimana pendapatmu bila ada orang yang mau meringankan bebanmu membawa surat ini yang pasti menempuh perjalanan yang melelahkan bahkan memberimu upah sebesar 2000 dinar.?” “Engkau seorang pembesar dan pemutus perkara. Apa pun yang engkau pandang baik, maka aku akan melakukannya,” jawab si Badui
“Berikanlah surat itu kepadaku,” kata sang menteri.

Si orang Badui pun menyerahkan surat itu kepadanya, lalu sang menteri memberinya imbalan sebesar 2000 dinar. Setelah itu pergilah si pendengki ini membawa surat itu ke tempat tujuan. Sesampainya di sana, si pegawai yang dimaksud membaca surat Amirul Mukminin yang berisi pesan agar memenggal leher pembawanya, lalu memerintahkan agar leher sang menteri tersebut dipenggal.Setelah beberapa hari, sang khalifah teringat kembali perkara si Badui, lalu bertanya kepada para pegawainya perihal sang menteri namun mereka memberitahukan bahwa sudah beberapa hari sang menteri tidak muncul-muncul sedangkan si Badui masih berada di dalam kota.

Mendengar hal itu, kagetlah sang khalifah lalu memerintahkan agar si Badui segera dihadirkan ke hadapannya. Tak berapa lama, datanglah si Badui, lalu ia menanyainya perihal kondisinya. Si Badui pun menceritakan kejadiannya dari awal soal kesepakatannya dengan sang menteri yang tanpa sepengetahuan khalifah (alias kesepakatan bahwa yang akan membawa surat itu adalah sang menteri sedangkan dirinya diimbali dengan 2000 dinar atas hal itu).

Ternyata, sang menteri melakukan itu secara makar dan karena rasa dengkinya. Si Badui juga memberitahu sang khalifah perihal ajakan sang menteri ke kediamannya dan hidangan yang berisi bawang putih yang banyak, yang dimakannya di sana serta apa yang terjadi bersamanya saat itu.Maka ketika itu, berkatalah Amirul Mukminin, “Allah telah membunuh Hasad, betapa adilnya Dia. Ia (dengki) memulai dengan tuannya sendiri (pendengki) lalu membunuhnya.”Kemudian sang khalifah mencabut hukuman terhadap si Badui dan malah mengangkatnya menjadi menteri sedangkan sang menteri sudah beristirahat dengan sifat dengkinya nun di sana…

(SUMBER; Nihaayah azh-Zhaalimiin karya Ibrahim bin ‘Abdullah al-Hazimy, Juz.III, no.64, hal.89-92
— bersama Bam Bang Kelana, Ami Putri, Naira Purnomo dan Pakdhe Lurah Bismania.