Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam melaksanakan umroh sebanyak empat
kali dalam rentang waktu empat tahun, dalam setiap safar beliau tidak
pernah melakukan umroh lebih dari sekali, dan begitu pula sahabatnya
radhiyallahu anhu. Tidak pernah sampai informasi akurat sampai kepada
kami (Abdul ‘Azhim bin Badawi al Khalafi), bahwa ada seorang dari
kalangan mereka pernah melakukan umroh dua kali dalam satu safar, baik
pada waktu Rasulullah shalallahu alaihi wassalam masih hidup mauun
sesudah beliau wafat. Kecuali ketika Aisyah radhiyallahu anha datang
bulan pada waktu menunaikan ibadah haji bersama Nabi shalallahu alaihi
wassalam, maka rasulullah memerintah saudara Aisyah yang bernama
Abdurrahman bin Abu Bakar mengantar Aisyah ke daerah Tan’im agar memulai
ihram untuk umroh dari sana, karena ia menyangka bahwa umroh yang
dilakukan berbarengan dengan haji, maka ia batal, sehingga ia kemudian
menangis. Maka Rasulullah shalallahu alaihi wassalam mengizinkan Aisyah
melakukan umroh lagi demi menenangkan jiwanya.
Umroh yang
dilaksanakan Aisyah ini sebagai pengkhususan baginya, karena belum
didapati satu dalil dari seorang sahabat laki-laki maupun perempuan yang
menerangkan bahwa mereka pernah melakukan umroh setelah sebelumnya
melaksanakan ibadah haji, dengan memulai ihram dari kawasan Tan’im,
sebagaimana yang telah dilakukan Aisyah radhiyallahu anha. Andaikata
para sahabat mengetahui perbuatan Aisyah tersebut disyariatkan juga buat
mereka setelah sebelumnya menunaikan ibadah haji, niscaya banyak sekali
riwayat dari mereka yang menjelaskan hal itu. Imam Syaukani
rahimahullah mengatakan, “Nabi shalallahu alaihi wassalam tidak pernah
berumroh dengan cara keluar dari daerah Mekah ke tanah halal, kemudian
masuk ke Mekah lagi dengan niat umroh, sebagaimana layaknya yang
dipraktekkan banyak orang sekarang. Padahal tidak satupun riwayat yang
sah yang menerangkan ada seorang sahabat melakukan yang demikian itu.”
Sebagaimana
tidak didapati riwayat yang sah yang menerangkan bahwa sebagian sahabat
yang melaksanakan umroh berulangkali setelah sebelumnya menunaikan
ibadah haji, maka tidak ada riwayat dari mereka yang menjelaskan bahwa
mereka menunaikan ibadah umroh berulangkali pada seluruh hari sepanjang
tahun . Mereka menuju Mekah untuk menunaikan ibadah umroh secara
individu-individu dan ada pula yang secara berkelompok, mereka mengerti
bahwa umroh adalah ziarah untuk melakukan thawaf di Baitulah dan sa’I
antara Shafa dan Marwah, mereka mengetahui juga dengan yakin bahwa
thawaf disekeliling Baitullah jauh lebih utama daripada sa’i. Maka
daripada mereka menyibukkan dirinya dengan pergi keluar ke daerah Tan’im
dan sibuk dengan amalan-amalan umroh yang baru sebagai tambahan bagi
umroh sebelumnya, maka yang lebih utama mereka melakukan thawaf di
sekeliling Baitullah. Dan sudah dimaklumi bahwa waktu yang tersita dari
orang yang pergi ke Tan’im untuk memulai ihrom untuk umroh yang baru
dapat ia manfaatkan mengerjakan thawaf dengan ratusan kali keliling
ka’bah. Thawus rahimahullah menyatakan: Orang-orang yang umroh dari
kawasan Tan’im, aku tidak tahu apakah mereka diberi pahala atau justru
disiksa!!!.” Ada yang berpendapat bahwa mereka akan diadzab. Karena
mereka meninggalkan thawaf di Baitullah dan pergi ke Tan’im yang
berjarak empat mil, kemudian kembali ke Mekah yang kalau digunakan untuk
Thawaf maka mampu melaksanakah thawaf sebanyak dua ratus kali. Jadi
jelas sekali, bahwa thawaf di Baitullah jauh lebih afdhal daripada
jalan-jalan yang tidak memiliki dasar pijakan yang kuat.
Jadi,
pendapat yang mengatakan tidak disyari’atkan melakukan umroh
berulangkali, inilah yang ditunjukkan oleh sunnah Nabawiyah yang
bersifat ‘amaliyah dan ditopang oleh fi’il, perbuatan pun sahabat
radhiyallahu anhu. Padahal nabi shalallahu alaihi wassalam pernsh
memerintah kita agar mengikuti sunnah beliau dan sunnah para khalifah
setelah sepeninggal beliau. Yaitu beliau bersabda :
“Hendaklah
kalian berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah para khalifah yang
mendapat petunjuk dan terbimbing sepeninggalku; hendaklah kalian
menggigitnya dengan gigi gerahammu.”
(Sunan Abu Daud II:398 no:4607, Ibnu Majah I:16 no:42 dan Tirmidzi V:43 no;2673, Ahmad IV:26)
Sumber : Kitab AL WAJIZ karya Abdul ‘Azhim bin Badawi al Khalafi, Pustaka As Sunnah:2011:Jakarta Timur. Halaman ; 518-520.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar